Detik
ini, semua benar-benar dimulai. Saat sebuah pil akan membimbing kami pada dua
pilihan yang bersebrangan.
ALIBI 4
Sabtu, 18.30
-Kantor Detektif Kogoro Mouri-
"Kenapa sebelum pulang mereka
tidak pernah membereskan sampah yang mereka buat?" Conan merengut dengan
kedua tangan di penuhi sampah plastik kue dan cemilan.
"Mau bagaimana lagi. Mereka
anak-anak yang begitu antusias untuk pergi berakhir pekan dengan
orangtuanya" Ai menjawab pertanyaan retoris Conan, sengaja membuatnya
lebih kesal.
"Kalau anak-anak itu sih aku
masih paham. Tapi kenapa Sonoko juga sampai ikut-ikutan!" Ai dapat melihat
termometer kekesalan Conan telah mencapai angka 100 derajat. "Selain itu
minta di antarkan Ran sampai ke ujung jalan! Apa maksudnya coba?"
Ai berhenti menyapu, lalu
memperhatikan mimik wajah Conan yang merah padam. Rencana kecemburuan milik
Sonoko sepertinya berhasil dengan gemilang. "Seperti apa laki-laki yang
akan kencan dengan Ran?"
Conan pura-pura tidak mendengar dan
meneruskan 'pengoleksian' sampahnya. "Wah, sepertinya dia laki-laki yang
begitu hebat sampai kau minder ya Kudo..."Ai tidak pernah gagal dalam
memprovokasi Conan. Hanya butuh jeda dua detik untuk Conan memuntahkan apa yang
dia dengar dari Sonoko seharian penuh.
"Dia hanya laki-laki narsis
ketua OSIS yang merebut posisi satu sekolah sejak kepergianku. Sonoko
mengatakannya tampan, padahal dia hanya si tak tahu malu yang mengatakan cinta
pada Ran di upacara sekolah. Ketua OSIS macam apa itu?" Conan melanjutkan
omelannya sambil terus melemparkan sampah kedalam tong.
Selalu ada sedikit kebahagiaan
tersisip di diri Ai jika melihat Conan menunjukkan sisi kekanakannya. Merengut
bahkan marah karena hal-hal sepele. Seperti sebuah oasis dalam pelariannya dari
organisasi.
Bayangan sebuah mobil porche hitam
diseberang jalan melintas.
"DEGG!" ingatannya tentang
mobil Gin membuat seluruh darahnya kembali ke jantung. Wajahnya memucat. Tidak,
Kudo tidak boleh tahu. Dia pasti akan menantang bahaya mengejar organisasi. Aku
tidak boleh melibatkannya lagi. Tidak boleh melibatkan teman-teman. Tidak boleh
libatkan Kudo,karena Ran...
"Hei Haibara... kau demam ya?
Atau mungkin gejala flu?" Tanpa permisi Conan menempelkan dahinya ke dahi
Ai.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Ai
melihat wajah Conan begitu dekat, sedekat nafas hangat yang membelai wajahnya.
Seperti rambutnya yang menggelitik, dan bulu matanya yang panjang dan...
"Minggir!" Ai mendorong
Conan menjauh. Semburat merah mewarnai wajahnya."Untuk apa kau
melakukannya?"Ai berusah mati-matian menyembunyikan warna wajahnya.
"Mengukur suhu..."jawab
Conan polos, "Ah, kenapa wajahmu tiba-tiba merah? kurasa kau memang
demam" ucap si detektif jenius (yang sama sekali tidak sensitif) penuh
percaya diri.
"Kenapa harus menempelkan dahi
untuk mengetes suhu? Bukannya harus menggunakan termometer!" Ai berbalik
dan meneruskan pekerjaannya jantungnya berkejaran, darah mengalir begitu cepat
keseluruh tubuhnya. Dalam satu gerakan, conan telah membuatnya melupakan
masalah organisasi tanpa dia sadari.
"Setahuku kalau seorang anak
demam, orang tua akan terlebih dahulu menggunakan tangan atau dahi untuk
mengecek suhu" Conan membela diri. "bukannya kontak tubuh itu hal
yang biasa dalam keluarga?"
"Oh, begitu ya?"
Mata conan menyirip. "Hal
sepeti itu kenapa kau tidak..."Kalimat itu terhenti, conan mengutuk
kata-kata yang dikeluarkannya. Dasar bodoh, bisa-bisanya kau mengatakannya!
"Aku memang tidak tahu
bagaimana orang tua merawat anaknya. Bahkan kakak tidak bisa mendekat kalau aku
demam. Organisasi memonopoli Ayah dan Ibu, sampai aku tidak bisa mengingat
wajah mereka. Satu-satunya yang menghubungkan aku dengan mereka justru racun
yang entah sudah memakan berapa nyawa" tak ada nada ironi dalam suaranya,
hanya kejujuran yang keluar dari seorang anak tanpa kenangan.
Conan terdiam memandang punggung Ai
yang kesepian. Kedua tangannya menggenggam batang sapu erat bagai menggenggam
kenangan- seolah semua memori yang ia miliki akan lenyap jika jemarinya sedikit
saja merenggang.
Conan sama sekali tidak tahu seperti
apa kepedihan Ai, karena dia memiliki kedua orang tua yang mncintainya dengan
unik. Dia tidak mengetahui sekosong apa hidup Ai, karena teman-temannya
bukanlah sekelompok orang yang hanya memanfaatkan kejeniusan otaknya. Dia tidak
tahu seberapa besar kehilangan yang dialami Ai, karena dia tidak pernah
sekalipun kehilangan orang yang dia sayangi. Tidak dengan direbut seperti Akemi
Miyano. Conan tidak pernah merasa sendiri dalam dunia ini.
Punggung Ai yang dilihat Conan
begitu rapuh, seperti istana pasir yang megah. Meski angkuh, tapi akan hancur
tak bersisa dengan satu terjangan ombak.
"Hei kenapa kau terdiam?"
Ai berbalik, memamerkan matanya yang dipenuhi kecerdasan. Sinar keangkuhan yang
selalu menyindir Conan tak pernah lenyap dari mata itu. "Aku tidak butuh
simpatimu tuan detektif. Dan jangan bayangkan kehidupan tragis seenaknya di
benakmu. Aku menikmati tiap detikku berada di laboratorium"Karena gelas
dan tabung reaksi tidak akan menyakiti dan memanfaatkanku seperti mereka.
Tapi Ai justru mengatakan "Mungkin sama denganmu yang menikmati berada
dalam tubuh anak kecil dan bermanja-manja pada kekasihmu... aku bertaruh kau
sudah pernah melihatnya mandi-"
" Haibara!"
Conan segera mencoret bagian rapuh
dan lemah dari deskripsi Ai. Sosok di hadapannya adalah makhluk paling sinis,
menyebalkan dan sama sekali tidak memiliki kelembutan – ibarat bumi dan langit
dengan Ran. Sama sekali bukan perempuan. Yah, tak masalah. toh, dia
kadang-kadang lupa kalau Ai perempuan. Jadi tak masalah kalau Ai bersikap kasar
dalam taburan kata-kata ironi yang melebihi lelaki.
Ai tersenyum tapi matanya tidak. Dia
menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi yang memaksa keluar. Dia tak akan
bisa menipu detektif terbaik dari timur dengan perasaan yang tidak tertata.
"Hei Kudo..."
"Panggil aku Conan"
koreksi Conan.
Tak peduli pada interupsi Conan Ai
melanjutkan "Apakah kau mencintai Ran?"
Conan mengerdipkan matanya 3 kali
sebelum mengatakan "Maaf? Tadi kau bilang apa?"
"Apakah kau mencintai
Ran?"Ai memandang tajam, melewati kacamata yang hanya pajangan tepat ke
bola matanya yang terbelalak.
"A... Apa maksudmu? Kenapa
tiba-tiba menanyakan itu?" Poker face yang selalu dia pasang saat
menghadapi penjahat lenyap seketika. Panik dan malu menjadi rona merah di wajah
Conan.
Dada Ai sesak. Tali tak tampak
melingkari lehernya, mencekiknya perlahan. Merebut semua nafasnya. Ai menyentuh
lehernya, tak ada apapun. Apa arti rasa sakit ini?
"Ran..." Ai berusaha
mengeluarkan kata-kata yang terikat di tenggorokannya. "dia tidak pernah
mengatakan cinta pada Shinichi kudo kan?" Tidak! Bukan ini yang ingin
ku katakan! "Pada sosok conan kurasa dia hanya bilang suka"
Conan terkesiap, reaksi yang
membenarkan semua perkataan Ai.
"Apa kau yakin dia
mencintaimu?" Batin Ai memberontak, dia tahu pasti Ran mencintai shinichi
Kudo. "Apalagi kau sudah meninggalkannya, bisa jadi dia membencimu"
mulutnya mengingkari fakta bahwa Ran adalah gadis paling setia yang pernah ia
temui.
Conan diam, shinichi diam, dunia
ikut diam bersamanya. Membunuh semua suara yang eksis, hingga hanya tersisa
detik jam yang menghipnotis. Mengutuk Ai atas semua pertanyaan yang menyimpan
keegoisannya.
"Aku... tidak peduli"
Ai menanggkap sinar kesungguhan dan
ketulusan dalam mata Conan. Bukan mata seorang anak 7 tahun, tapi mata seorang
remaja yang mempertaruhkan segalanya pada cinta pertamanya, pada cinta yang
telah tertanam dan tumbuh dalam waktu 10 tahun.
"Aku tidak peduli dia harus
membenciku, bahkan bila aku hilang dari hatinya. Asalkan dia selamat dan terus
hidup dengan bahagia, senyumnya adalah segala-galanya bagiku . semua itu lebih
dari cukup bagiku. Biarlah aku melindunginya tanpa dia tahu" Conan menatap
langit-langit.
Sinar mata Ai meredup. Dilindungi
oleh orang yang dikasihi hanya pernah Ai rasakan sekali, tapi itu berujung pada
kematian kakaknya dan kekosongan. Semua berujung pada kesendirian. Perisai es
hatinya retak, tapi Ai mengabaikan semua rasa iri dan harapan yang telah lama
dia buang.
"Melindungi? Kurasa itu disebut Egoisme lelaki" Ai
melepaskan genggaman tangannya dari sapu.
"Yang kau lakukan hanya akan
makin menyakiti Ran" Tangannya merogoh ke dalam saku celana.
"Anggrek
(Ran) adalah bunga yang rapuh, tak peduli stinggi apapun benteng yang kau
bangun agar terhindar dari badai, hujan dan panas, dia akan layu karena
merindukan matahari. Apa kau paham itu?" Ai mengeluarkan tangannya dari
saku. "Tapi sayangnya Ran bukan bunga"
"Jadi maksudmu aku harus
menceritakan semuanya pada Ran?"
"Kalau kau mau bermurah hati
memasukkan nama pacarmu dalam daftar orang yang harus 'di hapus' oleh
organisasi, silahkan saja" perkataan penuh ironi kembali menghujam
perasaan.
Conan menyipitkan matanya "Jadi
apa maumu?"
"Hei conan..." Ai berjalan
mendekati Conan. "Menurutmu, kalau aku mempertemukan Ran Mouri dan
Shinichi Kudo, apakah Shinichi akan mengungkapkan perasaannya pada Ran?"
"Itu hanya akan menyakitinya"
ya, setelah mengatakan perasaanku lalu apa? Meninggalkannya lagi? Membuatnya
menangis lagi? "Lagipula Shinichi tidak bisa muncul kan?"
Ai membuka kepalan tangannya. Ada
dua buah kapsul berwarna biru dalam plastik transparan. "Shinichi harus
ada besok, kalau tidak... Ran akan menerima cinta si ketua OSIS dan menjadi
kekasihnya" Ai berbohong, tapi kali ini dia sama sekali tidak merasa
bersalah. Makhluk bernama laki-laki memang harus di dorong sampai tepi jurang
agar mau bertindak. "Ran sendiri yang mengatakannya padaku"
Conan terdiam, memandang pada wajah
sang profesor dan plastik putih berisi kapsul di telapak kanan Ai bergantian.
Penawar APTX 4869? Tidak, warnanya berbeda... .
"Ran adalah tipe malaikat.
Sekali dia terikat dengan ketua OSIS, dia takkan bisa lepas darinya. Dan kurasa
cuma laki-laki bodoh yang melepaskan Ran. Sayangnya Ran hanya bisa bahagia
bersama laki-laki bodoh itu" Ai mengikuti tatapan Conan ke telapak tangan
kanannya. "Ini Penawar APTX 4869 terbaru, rentangnya 1 hari hingga 3 bulan
bahkan mungkin permanen."
"Apa kau akan mengujicobanya
padaku?" tanya Conan, antara kekhawatiran, keraguan dan keinginan yang
kuat untuk kembali ke tubuh aslinya. "Kali ini berapa persentase
berhasilnya? Jangan bilang kurang dari 50 persen"
Tak peduli pada pertanyaan Conan, Ai
kembali menanyakan hal yang sama denga yang ia tanyakan pada Ran. "Kalau
Shinichi bertemu Ran, kejujuran apa yang akan dia katakan?"
Suara tarikan napas terdengar
bersama langkah conan mendekati Ai. sepasang tangan yang hangat membungkus
telapak tangan kanan Ai. Tangan conan. Nafas berat terhela.
Conan menggenggam erat pil percobaan
beserta tangan gadis yang membuatnya. "Shinichi akan mengungkapakan
perasaannya yang paling jujur pada Ran. Mengatakan kepadanya" Conan
menarik nafas panjang. Matanya beradu dengan Ai. Conan siap mengambil resiko
apapun yang terjadi. Selama dia bisa melihat senyum Ran.
"Aku mencintaimu"
"Aku juga mencintaimu".
Kata-kata itu mengalir dari bibir mungil Ai,lepas begitu saja tanpa kendali,
memberikan riak dalam aliran kesadaran Conan. Jantung Ai berdetak kencang,
terusir dari alam bawah sadarnya; dia menepiskan tangan Conan."Kau pikir
Ran akan dengan mudahnya mengatakan hal itu?" dia melemparkan plastik
berisi kapsul Ke arah Conan. "Yah, tapi bagaimanapun kau harus mengatakan
itu kalau tak mau kehilangan Ran. Wanita bisa mati kalau harus terus menumpuk
kesedihan"
Conan menangkap plastik berisi
kapsul dan menggenggamnya. "Hei Haibara..."
"Apa?"
"Kau bisa bicara seperti
perempuan ya..."pernyataan yang jujur.
"Memangnya aku laki-laki?"
"Haibara..."
Ai mendengus kesal "Apa
lagi?"
"Terima kasih"
to
be continued...
~MeWTh~
No comments:
Post a Comment