ALIBI 3
Dapur Kediaman Mouri, Sabtu 14.14
"Ai-chan suka sama Conan-kun ya?"
"PRAK!"
Ai menjatuhkan sekotak telur di tangannya
ketika pertanyaan itu di ucapkan Ran. Lehernya tiba-tiba saja kaku, tak bisa
bergerak sama sekali. Dia hanya bisa menunduk, melihat cairan kuning yang
merembes keluar dari dalam kotak. Dari sisi mana kau melihatku suka dengan
maniak Holmes itu Ran? Batin Ai menyangkal, tapi mulutnya terkunci. Dia
tidak bisa mengatakan apapun, walau hanya maaf karena sudah memecahkan telur
untuk makan malam mereka.
"Ai-chan tidak apa-apa?" tanya Ran
panik. Dia menyambar serbet dan membersihkan tangan mungil Ai yang berlepotan
cipratan telur. "Aduh, maaf ya... apa aku membuatmu kaget?".
Ai menggeleng dengan susah payah diiringi
suara engsel karatan.
Ran memasukkan sisa belanjaan dalam Kulkas
lalu membersihkan tumpahan telur. Ai hanya bisa menyingkir dan memperhatikan
gerak-gerik Ran. Sekelebat, dia melihat bayangan kakaknya. Begitu sabar,
anggun, perhatian dan memiliki hati seindah malaikat.
"Kalau... kalau aku memang suka
kenapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ai. Dia tidak tahu
kenapa.
Sampah telur yang masuk ke dalam tempat
sampah menjadi Intro jawaban Ran. "Jangan sampai menyia-yiakan rasa suka.
Kalau bisa ungkapkan langsung, ungkapkan saja. Mengatakan –Aku Suka Kamu-
secara langsung, tanpa pertengkaran maupun kepura-puraan"
Perkataan itu... bukannya kau tujukan pada
dirimu sendiri Ran? Senyum sedih
tersungging.
Ai merasakan nyeri di ulu hatinya ketika Ran
mengabaikan semua kepedihan yang dirasakan dan memberikan senyum tulus hangat.
"Kalau menyukai seseorang, kita harus mengungkapkannya sesegera mungkin.
Karena bisa jadi besok tidak bertemu lagi" Ran menggenggam tangan Ai.
"Kakak juga ada orang yang
disukai?" tanya Ai. Dia sudah tahu jawabannya. Dia tahu pasti. Tapi hanya
sekali saja dia ingin mendengarnya.
Ran tak mampu lagi membendung kerinduan dan
gejolak perasaan di dalam dirinya.
"Aku mencintainya" titik bening
mengintip dari sudut mata Ran. "Itulah yang kusadari. Tapi jangankan
menyatakan perasaan ini bertemu dengannya saja aku tak bisa. Dia... selalu
mengawasiku- aku merasakan dia selalu mendampingiku, tapi..." Ran terdiam,
menahan suara dan air mata yang berontak ingin mengalir membasahi pipi
putihnya.
Ai menundukkan pandangan, rasa sedih menyusup
kedalam hatinya. Empati? Mungkin saja, karena secara ganjil dia memahami
perasaan ini. Begitu dekat, sangat dekat. Tapi ada sebuah batas yang tak
mungkin dia lewati untuk mengungkapkan perasaannya. Seperti kedinginan di tepi
kawah gunung berapi. "Kalau..." Ai menarik nafas panjang" Kalau
misalnya bertemu dengan orang itu... apakah Kak Ran akan
mengungkapkannya?"
Ran tersenyum. Dan Ai tahu apa yang akan
keluar dari bibir gadis tegar di hadapannya.
"Ya..."
Sabtu, 14.20
-Minimarket 24 jam-
Ai secara sukarela menemani Ran membeli
sekotak telur untuk mengganti telur yang sudah dia pecahkan. Sekalian
membelikan pesanan Sonoko yang sedang menikmati penyiksaan terhadap Conan.
"Jadi... soal kencan kak Ran besok itu
bohong ya?" tanya Ai ketika mereka melangkahkan kaki keluar dari
minimarket.
"Kalau itu sih benar"Jawab Ran
tanpa beban.
"BRUGH!" kantong belanjaan ditangan
Ai terlepas. Setelah tersadar dari keterkejutannya (selama ¼ detik,) Ai
memungut kentong belanjaanberisi air soda dan bertanya: "Kenapa?Tapi tadi
kata kak Ran..."
Ran mempercepat langkahnya. "Soalnya dia
bilang akan menyerah kalau aku mau kencan sekali saja dengannya. Keras
kepala". Senyum Ran terkembang, mungkin si ketua osis masih punya harapan
"Keras kepalanya mirip Shinichi" atau mungkin tidak.
"Lagipula aku suka dengan ide Sonoko
untuk membuat Shinichi cemburu. Terakhir aku melihatnya marah-marah sewaktu aku
mendapat surat cinta di kelas 1 SMA. Setelah itu dengan alasan 'aku juga bisa'
menuliskan puisi analisis yang membuatnya jadi bahan tertawaan 2
bulan."Ran tersenyum geli. Entah apalagi yang akan dilakukan Shinichi
kali ini
"Dia bukan tipe yang sensitif apalagi
romantis, terakhir dia menelponku yang dibicarakannya justru kasus Kaito
Kid". Sifatnya mirip dengan Conan, bagaimana dengan Ai ya? Apa dia
mengalami nasib sama sepertiku?. "Kalau Ai-chan sendiri bagaimana?
" Ran tidak mendengar ada jawaban dari Ai. "Ai-chan?" Ran
melihat kesekelilingnya, mencari Ai yang lenyap. Ai tertinggal di belakang.
Tertegun tak bergerak, memandang lurus ke seberang jalan. Kedua tangannya yang
menggenggam kantong belanjaan berkeringat dingin.
"Ai-chan ada apa?"
Pundak mungil itu terentak saat tangan ran
menyentuhnya. Matanya terbelalak. "Ai-chan?" Ai menarik nafas,
menutup matanya lalu menghembuskannya. "Tidak.. tidak ada apa-apa kok kak
Ran"
Ran melihat ke arah yang baru saja dipandang
Ran. Tepat di seberang jalan, mobil eskrim keliling sedang melayani pembeli.
"Ai-chan ingin makan es krim ya?"
Cengiran anak kecil diberikan Ai. "Aku
minta es krim yang ada di kulkas ya? Yang coklat!" Ai menggandeng tangan
Ran. "Ayo cepat kak Ran!"
Ran setengah berlari karena ditarik oleh Ai.
"Ai-chan jangan cepat-cepat" mendengarkan permintaan Ran, Ai
berhenti. Melepaskan gandengan tangannya lalu berlari mendahului Ran.
"Lomba lari! Yang kalah tidak kebagian es krim!" seru Ai
kekanak-kanakan. Dengan gaya yang akan buat Conan mual seketika.
Ran tersenyum dan mulai berlari. Dia serasa
mendapatkan adik perempuan yang lucu. "Aku pasti menang!"
Sementara itu mobil es krim bergerak maju,
meninggalkan pembeli yang tersenyum riang dan menampilkan mobil yang terparkir
di baliknya. Porche hitam dengan kaca gelap.
Dibalik kaca itu seorang pria berambut perak
panjang mengamati kertas di tangannya.
"Aku tidak menyangka akan kembali ke
kota ini lagi, apalagi sampai bertemu dengan seorang penghianat" dia
menyalakan api geretan.
"Jadi tugas kita 'menghapus' seseorang
ya kak Gin"? tanya pria tambun berkacamata hitam yang duduk di kursi pengemudi.
"sebenarnya Dia sudah terhapus.
Yang kita lakukan hanya membereskan sisa-sisanya" Api membakar kertas di
tangan Gin.
"Kita akan membakar dan membereskan
abunya, seperti kertas ini" Gin melempar kertas yang tengah terbakar
keluar jendela.
"Terbakar tanpa sisa"
...to
be continued...
No comments:
Post a Comment