Edge
of Night
Aku
bangkit dari tempat tidur dengan selimut sebagai tabir tubuh telanjangku…
"Apa
kau akan meninggalkan aku?"
…Suaranya
terdengar jelas seolah dia berbisik di telingaku…
"Aku
mencintaimu... sangat mencintaimu"
"DOR!"
*How
many people must i kill? Why did i go this far just for live? Shall i sink
deeper or die?*
Last
Alibi, it the last, But not the least.
''selamat datang... Shiho"
gna/n :Gak nyangka bisa sampai 11
alibi mew~... gak nyangka bisa melampaui 90 halaman, mew~, gak nyangka bisa
begadang sampai 3 minggu mew~,gak
nyangka berat badan Mew malah naik. NganTuk mew~LEHeR SaKIT!.
Itu yang Mewth rasakan waktu
mengakhiri Edge of Hope FEBUARI 09 yang lalu,mew~. (Pesan moral :
Menulislah hanya pada saat liburan,mew). Tapi saat nulis gak nyangka
author/note ini mew lebih ngga nyangka ngedit makan waktu berbulan-bulan,
computer rusak, lebih n ada yang mau nemanin mew dari awal sampai akhir.
ini biografi penulisan (gak
penting!): menulis sketsa di buku dari januari 2008 memutuskan untuk nulis di
comp febuari 2009, selesai ngetik maret 2009. editing sepanjang hayat dan
selesai upload pas ulang tahun ke 713!
Untuk itu mew mau ucapin thanks,
mew~: neechan yang dukung dari setahun yang lalu, dan semua yang udah mereview
cerita ini. tanpa review dari teman-teman semua mewth gak akan bisa
menyelesaikan edge of hope...
ah, kepanjangan... sekarang lanjut
aja ke alibi terakhir edge of hope.
Warning: Nudity ang Sekuhara
scene
x-x-x-x
I
never belong to this world - I'm nobody, just nothing
My
eyes & heart closed by a blindfold - I Could never see and feel anything
Until
now...
x-x-x-x
The
Last Alibi.
E
D G E O F N I G H T
"Tegakkan punggungmu Sherry!
Dan jangan alihkan pandanganmu. Lihat lurus ke targetmu dan tarik
pelatuknya"
"DOR!"
Itu adalah tembakan pertamaku. Aku
ingat bagaimana Gin bersemangat mengajariku menggunakan pistol seolah mengajari
anjing menari salsa. Konyol dan menyenangkan baginya, tapi tidak bagiku. Dia
berkali-kali membuatku sesak hanya dengan menatap dan mengatakan betapa
menyenangkannya memburu seseorang. Pada saat mengajariku menembak, dia selalu
menekankan pada membunuh. Pada prosesi bagaimana darah segar mengalir dari
tubuh korbanmu, menyaksikan timah panas menembus dagingnya, mematahkan
tulangnya lalu bersarang manis di jantungnya atau bila kau sudah mahir,
menembus tepat diantara kedua bola mata yang memutih.
Dia akan selalu mengajari bagaimana
menjadi malaikat maut pada diriku yang berusia 9 tahun. Tapi semua tidak
membuatku takut, karena dari dia juga aku sudah belajar untuk membunuh emosiku.
Rasa takut dan sedih akan jadi kelemahan. Lagipula, aku tidak akan menjadi
malaikat maut sepertinya.
Tidak dengan Pistol.
"Vermouth, apa ini tidak
terlalu dini? Umurnya baru 13 tahun!" terdengar teriakan protes di
belakangku, diluar ruang operasi. Sedangkan dihadapanku, sepasang mata
terbelalak dipenuhi ketakutan. Kedua tangannya terikat di samping tubuhnya yang
terbaring di atas meja operasi. Kedua kakinya menghentak-hentak keras, berusaha
lepas dari ikatan sabuk.
"Lebih tepatnya Doktor berusia
13 tahun. Adalah kesiaan bila kita tidak menyiapkannya sedini mungkin"
suara Vermouth terdengar renyah. Berbeda dengan pekik yang tak terdengar dari
lelaki kurus 'pasienku'. Sudah kuduga, memotong lidahnya bukan tindakan yang
tepat. Seharusnya pita suaranya kuhancurkan bersama tenggorokannya. Mungkin
akan sedikit kotor, karena darah, tapi setidaknya dia tetap hidup dan tidak
bersuara. Dan singkirkan obat bius, karena aku harus melihat reaksi langsung
dari obat baruku.
Aku heran kenapa tulang berbungkus
kulit di depanku begitu ketakutan. Hanya kedua tangannya saja yang kupatahkan
dan virus yang tadi di suntikkan Scotch hanya menonaktifkan lambungnya.
Seharusnya dia berterima kasih karena obat yang kubuat akan menyembuhkannya.
Kecuali lidah yang telah dipotong. Setidaknya itu pikirku.
Suara-suara terus bersahutan, tapi
aku tidak peduli. Hanya aku, 'pasienku', Scotch dan jarum suntik berisi hasil
penemuanku. Aku sama sekali tidak tahu, kalau obat yang kusuntikkan justru akan
merenggut nyawanya. Aku melakukan pembunuhan pertamaku dan mengira itu hanya
uji coba serum pada 'tikus' organisasi.
Penghianat sudah sepantasnya
diperlakukan sebagai tikus.
"Karena itu sebagai
perayaan" Gin mengeluarkan pistol dari pinggangnya, menodongkannya di hari
ulang tahun ke 17ku "Profesor Sherry" Gin menempelkan moncong pistol
ke keningku. "Jika kau berkhianat, aku sendiri yang akan membunuhmu. Aku
akan mengejarmu dan membunuhmu. Sehingga kau tidak perlu jadi tikus
percobaan". Aku sama sekali tidak peduli pada perkataan Gin, walau pria
berambut perak itu menganggapnya sebagai janji.
"wah-wah... kalau begitu kau
harus bersaing denganku, karena aku yang akan memburunya lebih dulu. Lady
first?" Vermouth tertawa di belakangku. Dan aku tak menanggapinya, hanya
diam di tengah bau mesiu dan mayat-mayat tanpa nama. Aku tidak peduli, selama
mereka menjamin keselamatan kakak. Karena aku ada di sini untuk satu-satunya
orang di dunia yang ada untukku. Orang yang tetap akan menerimaku meski aku tak
lagi bisa digunakan. Orang yang akan mengusap punggungku, memelukku dan
menyayangiku tanpa syarat. Selamanya dia ada untukku. Lalu aku...
Aku ada untuk satu-satunya
keluargaku.
Dan satu-satunya yang menghubungkan
diriku dengan keluargaku adalah apotoxin 4869. Kedua orangtuaku mengerjakannya,
tapi mereka mati tanpa menyelesaikannya. Sebagai ahli kimia, kukatakan bahwa
aku kagum pada mereka. Tapi sebagai seorang putri, aku tak bisa merasakan
apa-apa. Karena keberadaan mereka sebatas pada cerita kakak dan data-data
tentang apotoxin yang menggunung. Tidak wajah maupun suara. Mereka adalah
keberadaan yang absurd.
Atau justru keberadaanku yang
absurd?
"Lihat! Profesor Sherry muntah
lagi!"suara tawa tim bedah bergaung dalam ruangan berbau anyir,busuk dan
menjijikkan. Mereka abaikan otak yang berceceran di meja bedah dan terus hidup
aku tidak pernah bisa terbiasa dengan ruangan ini. Petugas kebersihan sudah
muak menuangkan berkubik-kubik pembersih lantai dan akhirnya membiarkan darah
mewarnai ulang lantai ubin putih dengan warna merah. "Kenapa Sherry? Tak
terbiasa dengan tubuh telanjang? Malu ya?"suara ejekan Brandy melatari aku
yang mengeluarkan cairan kekuningan dari lambungku. "Hei-hei lihat kemari
tuan putri, aku sudah memotong penisnya supaya kau tidak malu lagi" tawa
kembali meledak. Aku hanya bisa melemparkan sarung tangan karet berlumuran
feses ke wajahnya dan berlari keluar dari ruangan berbau kematian.
Aku benci Brandy. Aku benci semua
orang di bagian bedah. Bagaimana mungkin mereka menikmati mengeluarkan jantung
yang masih berdetak dan tertawa keras. Mengacungkan ginjal di depan mataku
bahkan dengan riang melubangi tengkorak danmelakukan permainan 'Juice otak'.
"Hei, kita punya cukup banyak persediaan otak Sherry, merusak otak idiot
yang satu ini tak akan merugikan" itu yang Whiskey selalu katakan sebagai
alasan.
Mereka selalu mencibirku yang kabur
dari bagian ujicoba 'tikus' lalu terusir ke bagian 'fresh dead Body', begitu
mereka menyebutnya. Aku memang tak punya nyali. Sejak pembunuhan
pertamaku, aku tak mampu lagi bila harus melakukan eksperimen manusia langsung.
Aku tahu mereka mengejekku 'Rotten Apple',apel busuk yang tampak bagus diluar,
tapi penuh ulat didalamnya. Karena aku tak mau membunuh dengan tanganku
sendiri, namun dengan tangan obat dan eksperimenku, aku telah merenggut puluhan
nyawa. Mungkin melebihi seratus...?
Tapi mereka tidak bisa berbuat
apapun untuk menyingkirkanku. Karena aku dibutuhkan organisasi. Aku penerus
penelitian APTX 4869. Aku adalah sapi perah organisasi. Yang perlu mereka
khawatirkan adalah saat sapi mereka tak lagi menghasilkan susu. Kekhawatiran
yang tak akan mungkin terjadi karena mereka punya obat ajaib yang akan selalu
membuat sapi perahnya bekerja. Akemi Miyano. Kakakku.
Satu-satunya yang akan membuatku tak
berguna bagi organisasi hanya saat... kakakku tidak ada.
Akemi Miyano mati, karena
organisasi.
"Kau pikir kau begitu hebat
hingga bisa bilang mau berhenti? Kami bisa melanjutkan penemuan konyol keluarga
Miyano tanpamu!"
Tendangan dilayangkan lagi ke
perutku. Aku tidak berteriak karena aku tidak bisa merasakan sakit lagi,
sebagian tubuhku mati rasa. Atau mungkin sebenarnya aku sudah mati dari dulu?
Pergelangan tangan kiriku yang melepuh karena borgol mulai mengalirkan darah.
Tapi yang kurasakan hanya hangatnya cairan merah mengalir di lenganku, bukan
rasa sakitnya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan kananku. Menyembunyikan APTX
4869, tiketku untuk menuju kematian.
"Hentikan!"Suara Vermouth
menggelegar, menghentikan pukulan dan tendangan yang kuterima. Tapi hanya itu
saja, dia tidak memberikan satu ciuman peluru perak ke keningku atau menusuk
jantungku. Dia hanya menunda kematianku."Nyalakan ruang asap sekarang.
Setelah 5 menit menghirup asap, dia pasti akan memohon untuk kembali
bekerja" Ucapan Gin bagaikan oase bagiku. Tapi sayangnya mereka tak akan
bisa melihat kematian yang panjang dan penuh derita. Karena aku akan mati
dengan APTX 4869. Aku akan mati dengan perpanjangan tangan Ayah dan Ibu.
Bukankah itu indah? Aku akan segera menyusul orang tuaku dengan apa yang telah
mereka wariskan. Kematian akan segera kudapatkan.
Seharusnya aku mati.
Aku tidak seharusnya hidup.
"Kau tahu, kalau kau mengenakan
kacamata ini organisasipun tidak akan mengenalimu, seperti Clark Kent"
Kudo tersenyum padaku dalam tubuh anak kecil,sebagai Conan. Senyum tulus
diberikan, padahal akulah yang membuat obat yang menyusutkannya. Aku yang
melenyapkan hari-harinya sebagai detektif dari timur, membuatnya terpisah dari
kekasihnya, membuatnya harus membohongi dunia. Tapi dia tidak mendendam. Dia
tidak membenciku. Ingin aku memohon padanya untuk berhenti bersikap baik,
karena aku tak memiliki apapun untuk mengembalikan kebaikannya. "Jadi kau
yang melepaskan kaca mata ini adalah superman?" hanya itu yang bisa
kuucapkan, menutupi ketakutanku pada kehangatannya yang tulus.
Di dalam bus, kedua tangannya
mellingkari tubuhku,aku mendengarnya dari balik tudung merahku, suaranya yang
tegas dan tulus "Aku akan melindungimu!" lalu mengeluarkanku dari lubang
kematian, lagi. Kata-kata itu terlalu hangat untuk orang yang hatinya
diselubungi es seperti aku, untuk orang yang telah berkubang dalam dunia hitam.
Apa yang dapat kuberikan sebagai balasannya? Aku tidak pernah memberitahu dia
tentang organisasi. Aku bahkan tidak pernah menjawab pertanyaan maupun
membenarkan pernyataannya, walau semua yang dia katakan adalah benar. Yang aku
lakukan hanya melemparkan kata-kata sinis yang tidak manis. Membuat dia semakin
bingung dengan pernyataan ambiguku.
Dan semua itu kulakukan hanya...
hanya karena aku berharap lelaki itu berbeda dengan organisasi. Aku selalu
berharap, dia melindungiku bukan karena aku orang yang dapat memberikan penawar
APTX 4869. Aku selalu berharap dan tiap kali aku melihatnya, harapan ini berulang.
Bahwa Shinichi Kudo-Conan Edogawa adalah orang yang dijanjikan oleh kakak.
Orang yang akan menyayangiku tanpa syarat.
"Akhirnya kau kutemukan"
x-x-x-x-x
Cahaya redup dari lampu tidur
menerpa mataku begitu aku keluar dari mimpi kilasan masa lalu. Selimut tebal
menutupi tubuhku. Dipunggungku, springbed queen size mengeluarkan suara lembut
ketika aku bergerak. Akumenyiripkan mata pada langit-langit putih lalu pada
semua benda yang ditutupi kain dan dilapisi debu. Aku pernah kemari sebelumnya,
sewaktu masih di organisasi. Aku tetap berbaring. Rasanya ada sesuatu yang
ganjil, hal penting yang aku lupakan.
"Kau sudah sadar?" suara
seorang laki-laki memecahkan kesunyian ruangan kosong ini. "Ini kamarku.
Dan..." dia melangkah keluar dari sudut yang gelap menuju cahaya
remang-remang. Menampilkan sosok Shinichi Kudo berpiyama. Ditangannya tersampir
kain berwarna toska. "Pakai ini. Pakaian ibuku, semoga muat untukmu"
Oh ya. Aku sekarang bukan Ai
Haibara. Belum kembali menjadi Haibara tepatnya. Dan hal ganjil yang kurasa
adalah karena aku telanjang di balik selimut ini.
"Mesum..."itu kata yang
pertama kali keluar dari mulutku.
Mata kudo terbelalak. Pakaian
terjatuh dari tangannya ke lantai. "Ma,maksudmu?"
"Mesum maksudnya tidak
bermoral, merujuk pada sifat maupun tindakan seksual yang melebihi kewajaran
dan melanggar nilai kesusilaan" aku dapat melihat keterkejutan berganti
kekesalan saat aku mengeluarkan definisi. Mengganggunya benar-benar
menyenangkan "Pria yang membawa wanita tanpa busana ke kamarnya disebut
mesum"
Aku dapat melihat wajah Kudo berubah
warna. "A-A-Aku... memangnya ada pilihan lain?"
Aku tertawa keras, tapi hanya dalam
hatiku. Dia itu bodoh atau polos? Umurnya sudah 17 tahun tapi tindakannya
seperti anak SD yang pertama kali melihat gadis memakai baju renang. Dan aku
tahu pasti pengalamannya tentang perempuan berbanding terbalik dengan kasus
yang ditanganinya."Aku hanya bercanda, jangan tanggapi serius"
Aku bangkit dari tempat tidur dengan
selimut sebagai tabir tubuh telanjangku dari pandangan Kudo. "Atau kau
melakukan sesuatu saat aku tidak sadar?"
"Tentu saja
tidak!"jawabnya cepat.
Tentu saja aku percaya. Aku mengenal
dia dan aku dapat membayangkan betapa dia kerepotan saat mengurusku yang tak
sadar. Kurasa dia berusaha membangunkanku, berharap aku dapat menyelesaikan
semuanya sendiri. Tapi dia gagal dan berakhir dengan menutup mata saat membuka
jas hujan dan berusaha tidak menyentuhku sama sekali saat membaringkanku
ke tempat tidur. Pasti sangat sulit.
Aku memungut pakaian dari lantai dan
Kudo memutar tubuhnya, berjalan keluar dari kamar. "Apa kau akan
meninggalkan aku?"
"Apa kau ingin aku melihatmu
ganti baju?"Kudo menjawab dengan bertanya.
"Asal kau tidak meninggalkan
aku sendiri"ini jujur. Aku tidak berani sendiri. Tidak dalam tubuh ini,
tidak setelah mimpi buruk tentang organisasi. Tidak setelah aku menyadari
perasaanku padanya.
"Jangan bercanda terus"
Kudo berdiri tepat di depan pintu. "Candaanmu sama sekali tidak
lucu".
"Aku tidak bercanda".
Kudo tak bergerak, tangannya masih
memegang kenop pintu. "Apa?" dia berusaha meyakinkan apa yang
didengarnya. Tapi aku tidak mengulangi kata-kataku hanya membeberkan kebenaran
yang seharusnya membuatku malu. Tapi aku hanya ingin dia tahu,
"Ini bukan kali pertama
laki-laki melihatku tanpa pakaian. Jadi tetaplah di sini"
Kudo tak mengeluarkan suara apapun
meski hanya nafas yang terhembus. Dia bahkan tidak melirikku atau memberikan
tatapan penuh selidik. Aku baru saja berfikir bahwa dia akan terus berdiri
disana ketika dengan cepat dia memutar kenop dan membuka pintu. "Aku ada
di balik pintu ini. Tenang saja, aku tidak akan meninggalkanmu" pintu
menutup dan Kudo lenyap di baliknya.
Jangan mengatakan hal yang tidak
bisa kau penuhi, Kudo. Kau akan meninggalkanku suatu saat nanti, aku tahu pasti
itu. Karena satu-satunya wanita yang akan selalu ada disisimu adalah Ran. Bukan
aku. Karena begitu kau lepas dari organisasi dan kembali menjadi Shinichi Kudo,
aku bukan lagi orang yang pantas untuk ditemani. Ingin ku ucapkan itu, tapi aku
terlalu takut untuk mengatakannya. Terlalu takut menghadapi kenyataan Kudo akan
meninggalkanku.
"Kudo...kau ada di sana?".
Terdengar deheman dari balik
pintu."Hmm... Ada apa?"
Aku bersandar pada pintu, berusaha
sedekat mungkin dengannya."Apa kau tidak akan menanyakan apapun?"
"Soal apa?" suaranya terdengar
jelas seolah dia berbisik di telingaku.
"Apa saja, mungkin tentang yang
baru saja kau dengar. Atau mungkin tentang organisasi..."
"Kutanyapun kau tak akan
menjawab" kudengar suara tubuhnya yang bersandar lembut pada pintu.
Punggungku dan punggungnya hanya berbatas pintu, hanya setipis itu tapi takkan
pernah tersambung. "Karena itu, aku akan menunggu sampai kau
menceritakannya. Mungkin aku tidak dapat menolong, tapi aku berjanji akan
mendengarkanmu".
Meski berbatas pintu, kehangatan
perasaannya membelai lembut punggungku. Perkataannya bagai suara malaikat di
telingaku. Membuat jantungku berdebar keras, mengalirkan darah begitu cepat
keseluruh tubuh dan otakku, kedua lututku lemas dan aku merosot, terduduk di
lantai yang dingin.
Aku seharusnya sudah sadar dari
dulu. Tidak, aku memang sudah sadar, tapi aku mengabaikannya.
Aku jatuh cinta kepada Conan
Edogawa, pada Shinichi Kudo, pada sang peluru perak. Terus dan terus jatuh
cinta kepada satu orang yang sama. Dialah cinta pertamaku. Cinta pertama yang
kutahu takkan pernah terjangkau.
Dan untuk orang yang kucintai, aku
akan menceritakan sedikit rahasia hidupku. Hal yang mungkin akan mengubah
perasaannya padaku, itupun kalau dia memang punya rasa.
"Aku yang membunuh kakak"
"Jangan konyol!" Kudo menimpali
perkataanku. "Bukan kau yang membunuhnya" aku tahu dia merasa
bersalah atas kematian kakakku. Karena kasus Masami Hirota, nama alias kakakku,
adalah kesalahan terbesarnya selama menjadi detektif. Dan aku menyalahkannya
karena seharusnya dia mampu mencegah kematian kakak.
Tapi akulah yang mendorong kakak
keluar dari organisasi. Akulah penyebab utama kakak masuk daftar hitam
organisasi.
"Kau mau mendengar ceritaku kan
Kudo? "
*I
pull the trigger of death*
"DOR!"
Duniaku tinggal tak memiliki warna.
Seperti dunia monochrome. Tapi aku mengenal ada satu warna, bukan bibir,bukan
api, bukan pula mawar, hanya darah yang berwarna merah. Darah yang membasahi
wajah dan tubuhku dari kepala yang berlubang. Revolver di tanganku masih
mengepulkan asap sedang mayat Brandy menindih tubuhku.
Aku menyingkirkan tubuh telanjang
laki-laki bajingan itu, menjatuhkannya dari atas tempat tidur berseprai darah
ke lantai yang dipenuhi pakaian terkoyak. Lalu orang berambut perak itu masuk
dan berdecak. Tidak mengasihani, tidak pula menghakimi.
"Scotch akan makin membencimu
karena ini, kau tahu dokter kita sangat sedikit"
Aku melihat pria yang berdiri
diambang pintu dengan mata tanpa kehidupan, mata yang mati. Aku bersandar pada
dinding, tak berniat untuk beranjak dari kasur yang basah dalam merah. Orang
itu, dia pasti mendengar teriakan minta tolongku, dia tahu Brandy akan
memperkosaku. Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Dia hanya masuk setelah terdengar
suara tembakan. "Aku benci kau Gin" aku melemparkan revolver kosong
di tanganku ke arahnya, tapi dia dengan mudah mengelak lalu tertawa dengan
suara yang kubenci.
"Kau adalah domba bagi para
serigala Sherry. Seharusnya kau sadar sebelum memenuhi undangan Brandy ke
kamarnya." Gin berjalan mendekat memungut selimut yang tertimpa mayat Brandy
, melemparkannya ke atas tempat tidur dan menutupi pandangan serta tubuhku.
"Bagi dia kau itu perempuan."
Aku menyingkirkan selimut yang
menutupi wajahku dan menlilitkannya ketubuhku seperti mengenakan handuk setelah
mandi darah. "Aku seorang peneliti bagi organisasi, tak lebih."
Gin duduk di tepian tempat tidur,
memberikan bunyi derit yang menyesakkan nafas. Dia memandangku dengan mata
shinigaminya, tangannya terulur. "Rambut merah yang indah," ketika
Gin menyentuh ujung rambutku, seluruh tubuhku gemetar. Kengerian yang sama saat
Brandy menyerangku datang. Nafasku lenyap, dunia menyempit meninggalkan aku dan
ketakutan yang mengikatku, membuatku tak mampu bergerak. "Sama seperti
milik ibumu,Elena" Aku seekor tikus tak bernyali dalam perangkap tanpa
pintu keluar.
"Menyingkir darinya Gin!"
Seorang wanita berlari masuk, dia
mendorong Gin lalu memelukku erat. Mengalirkan kehangatan ke tubuhku, lepaskan
aku dari kutukan Medusa. "Kakak..."panggilku pelan,nyaris tak
terdengar.
"Maaf, aku terlambat "
Kakak menangis menggantikan aku. Aku tidak tahu, kenapa dia menangis, kenapa
kakak bilang terlambat? Bukankah aku sudah membunuh Brandy sebelum dia
memperkosaku? Dia telah membayar untuk menyentuh tubuhku. Bukankah kakak sama
sekali tidak terlambat?
Mataku melewati bahu kakak yang
terisak, lalu tertumpu pada Gin.
Dia berjalan menjauhi aku dan kakak.
Tapi sebelum keluar dari kamar, dia berbalik. Gin memberikan senyumnya yang
membuat bulu kudukku berdiri. "Selamat datang, Shiho"
Detik itu aku sadar arti kata-kata
kakak. Ini berbeda dengan yang kulakukan saat berusia 13 tahun. Aku tahu aku
akan membunuh seseorang saat menarik pelatuk. Aku sudah membunuh seseorang
dengan keinginanku sendiri. Aku telah melakukan prosesi untuk menjadi bagian
dari organisasi. Tenggelam di lautan hitam organisasi.
"Jangan dengarkan dia Shiho.
Kau takkan pernah jadi bagian dari organisasi!"kakak membelai rambutku
perlahan. "Suatu saat kita berdua akan bisa selalu bersama, tanpa
pengawasan mereka" keyakinan dalam suara kakak membawa ketakutan dan harapan
sekaligus. Takut, karena keyakinan kakak membuktikan dia berhubungan lebih
dalam dengan silver bullet, membuat kakak semakin berbahaya bagi organisasi.
Dan harapan. Bahwa aku tidak perlu membunuh lagi hanya untuk bertahan hidup.
Aku bisa berhenti... aku ingin berhenti.
"Kak, aku ingin keluar. Aku
tidak ingin tenggelam..." untuk pertama kalinya aku memohon. Kakak
mempererat pelukannya. "Tentu Shiho, aku akan mengeluarmu dan diriku. Aku
pasti akan mengeluarkan kita berdua". Suara lembut kakak ditelingaku
memberikan desiran kasih sayang, mengeluarkan emosi yang ku pendam. Lalu aku
menangis. Kami mengangis dalam pelukan, dalam pertemuan terakhir. Karena
setelah hari itu kakak mati demi membebaskanku.
*How
many people must i kill? Why did i go this far just to live? Shall i sink
deeper or die?*
"Seandainya waktu itu aku tak
memaksa kakak mengeluarkanku, tak mungkin kakak terbunuh" aku mengakhiri
kisah murahan masa laluku. Cerita tanpa makna dari seorang pecundang yang
mengenakan piyama tua milik ibu lelaki yang menyelamatkannya.
Aku tak mendengar komentar apapun
dari Kudo. Aku bahkan tak tahu apakah dia masih ada di balik pintu tempatku
bersandar. Mungkin dia sudah pergi karena muak pada ceritaku. Jijik pada
pembunuh sepertiku "Kudo,bukan kau yang salah. Yang salah itu aku"
Aku berdiri, menanggalkan selimut
yang hangat dan berjalan menuju jendela tanpa tirai. Di luar sana dunia hitam
menelan semua warna, meninggalkan aku dalam kegelapan.
"Aku yang akan melepaskanmu
dari organisasi sebagai ganti kakakmu" pintu terbuka dan yang berdiri di
sana bukan Shinichi Kudo melainkan Conan Edogawa. Seharusnya aku tertawa
melihatnya dalam piyama yang kebesaran bagai menelan tubuhnya. Tapi tidak, aku
tidak tertawa.
"Kau memang bodoh Kudo"
ya, aku tahu betapa sakitnya tubuh saat menyusut. Saat organ dalam tubuh
mengkerut dan sistem tubuh bergerak secara terbalik. Seluruh tubuh terasa panas
bagai di panggang di atas bara, lalu jantung berhenti bekerja, membuat tubuh
dingin seketika. Merusak semua sel dan dalam detik yang sama membentuknya.
Sederhananya, tubuh adalah gelas yang dituang air mendidih lalu air es, jika
tak bertahan maka akan pecah dan hancur.
Dalam rasa sakit yang luar biasa
itu, dia tetap diam dan mendengarkanku. Tak mengeluh, tak berkomentar, tak pula
mengeluarkan jerit kesakitan, hanya mendengarkan semua kisahku dalam
penderitaan yang memanggil kematian.
"Sudah kubilang kan. Panggil
aku Conan... karena saat kau memanggilku Kudo pada tubuh ini, kau seolah
berusaha menjauh"
Aku memang menjauh. Aku tak ingin
kau terlalu dekat lalu pergi seperti kakak. "Aku hanya profesor gila yang
tak bisa melakukan apapun selain menciptakan apotoxin 4869 dan mungkin
penawarnya.." setelah semua itu, aku tidak ada artinya bagimu.
"Haibara... Kau adalah
partnerku. Jangan lupakan itu. Dan aku akan mengeluarkan partnerku dari tempat
yang dia benci menuju tempat yang dia inginkan"
Harapan yang telah lama mati. Tempat
yang kukira ujung dunia, dia berdiri disana, mengulurkan tangannya. Memberikan
harapan-harapan dan perlindungan. Memberikan apa yang selama ini kurindukan
dalam mimpi semu.
Kudo, aku benci mengatakannya.
Karena itu aku hanya bisa mengatakannya berkali-kali dalam hati.
"Aku mencintaimu... sangat
mencintaimu. Sebagai seorang wanita yang kau ajari arti hidup"
Aku berjalan menuju tubuh anak-anak
Kudo, dan memberikan senyum tulus pertamaku sebagai Shiho Miyano. Menatapnya
dalam-dalam"Terima kasih, Conan"
Dan reaksi tak terduga dia berikan,
berjingit ngeri dan mundur selangkah. "Haibara... Senyummu mengerikan...
apa kau sakit perut?" Makhluk ini, sangat menyebalkan! Kurasakan urat-urat
di kepalaku menonjol, darah sampai ke ubun-ubun,siap meledak. Setelah usaha
mati-matianku,menahan malu untuk mengucapkannya, dia justru...
Aku sekali lagi mengeluarkan
senyum,kali ini mengancam, lalu mengangkatnya. Ringan sekali.
Orang ini memang takkan bersama
denganku, takkan mendampingiku selamanya... Karena itu...
"Haibara! Apa yang kau
lakukan?"
Aku yang akan mendampinginya,
selamanya.
"Hanya menggendong seorang anak
kecil yang manis. Nah, Conan-chan mau tidur bersama kakak?" Aku
membekapnya di dadaku. Aku tak sempat melihat apel masak dipipinya karena
wajahnya kutenggelamkan semakin dalam.
"Hai-mmph-bara!" tak
peduli pada Kudo yang kesulitan bernafas, aku terus memeluknya. Kurasa aku
punya 1-2 jam lagi sebelum kembali jadi Haibara. Selama itu, aku akan menyiksa
laki-laki bodoh tumpul tak sensitif yang tak pernah sadar akan perasaanku ini.
"TOLONG!"
In
fading starlight, creeping gloom,
At the edge of night,
I dream inside this half-lit room,
It's gonna be alright,
And I will say, that I will stay with you
And be forever by your side,
No matter what before might lie
Or what we leave behind.
(Tony Banks)
**Never
ending**